SENTUH AKU DENGAN IMANMU
“Wahh… Ibu-ibu
lihat tuh! calon
suaminya si Ratna bawa apalagi, tuh?” tanya ibu Siska penasaran.
“Kayanya
baju-baju pernikahan. Lihat saja tasnya gede banget gitu. Enak banget yah, jadi
--jeng
Mila, punya calon menantu seorang dokter,”` Jawab ibu Siti.
“Bener banget jeng, Konon kata orang maharnya aja 100 Gram
mas, plus duitnya aja pakai yang
nulis sendiri jumlahnya, kalau ga salah namanya itu… Cr…e..ek….”
“Maksud jeng
Siska, pakai Cek?” sahut ibu-ibu yang
lain.
“Yah itu.. “
Beginilah
suasana desa di sekitar komplek rumahku.
Sinar mentari pagi selalu di
sambut dengan ibu-ibu yang asik dengan obrolan mereka. Setiap hari berganti
tema yang mereka guncingkan. Dan sekarang yang lagi ngehits
yaitu pernikahan Ratna Vs Pernikahanku. Apalagi saat membeli sayuran kaya gini,
menjadi tempat yang strategis bagi mereka. Dan dari sekian ibu-ibu itu, salah
satunya adalah ibuku. jadi tak heran kalau setelah pulang membeli sayuran, --ini
dia yang di bahas ibu di dapur.
“Jeng Mila itu
beruntung, Punya anak kaya Ratna, tinggi, putih, cerdas, sekarang mau nikah
sama seorang dokter. Super perfect deh. Andaikan ibu punya anak kaya
gitu, pasti ibu bahagia.”
“Kenapa ibu
enggak adopsi Ratna aja jadi anak ibu?” jawabku santai.
“Kamu kok
bilangnya kaya gitu. Kamu itu persis
kaya bapakmu. Susah diajak ngobrol. Pantas saja kamu dapat calon suami kaya
Irsyad, --Si pengangguran terselubung” cetus ibu.
“Loh-loh… Kok
nyambungnya ke situ sih. Apa maksud ibu
bilang Mas Irsyad Pangangguran terselubung?”
sahutku kesal
“Lah emang benar
kok. berapa sih gaji seorang Ustad? paling hanya dapat shodaqoh dari wali
murid. Itu pun kalau ada yang mau ngasih.
Dia itu sama saja dengan pengangguran yang lain, bedanya dia pakai
embel-embel Ustadnya itu…,”
“Syifa enggak suka
omangan ibu. Pekerjaan Mas Irsyad itu
justru mulia, memberikan ilmu di jalan Allah, mengajarkan seorang manusia untuk
selalu dekat dengan peciptanya, melalui lantunan ayat-ayat-Nya. Tidak bisa di
ukur dengan gaji berjuta-juta, yang cepat habis. Tetapi niatnya mengajar akan membawa
kebahagian bukan hanya di dunia tapi di akhirat pula.” seketika ibu diam.
***
Aku
menngenal Mas Irsyad seperti aku mengenal makanan yang aku lahap setiap hari.
Aku tahu rasanya. Manis, pedas, hingga asem dalamnya. Tak ada alasan tuk
menolak makanan yang di depan mata tatkala lapar menghujang. Semua itu tetap
aku kunyah jadi satu. Enak dan lezat. Mas Irsyad memberiku asupan gizi empat
sehat, lima sempurna melalui lantunan ucapanya, keindahan tutur katanya, sikap
dan sifatnya yang menjagaku menjadi gadis suci dan bermartabat dengan
kehormatanya. Aduhai, aku yakin jagat raya pun iri kepadaku. Beruntung dan
beruntung mendapatkan Mas Irsyad. Malaikat tak bersayapku.
Kalau
setiap malam aku pandangi baju pengantin ini rasanya kutak sabar menunggu
hari-H. Seminggu rasanya berbulan-bulan. Memang aku akui gaun ini tak seindah
gaun pengantin William dan Chaterine Middleton
atau Raffi Ahmad dengan Nagita bahkan dengan Ratna tetanggaku sendiri. Tapi
baju ini adalah warisan dari almarhum ibunya Mas Irsyad, wanita yang melahirkan
anak tampan dan sholeh. Aku berharap kebahagiaan ibunya Mas Irsyad bisa
mengalir kepadaku,
lewat baju ini.
Pintaku
terputus setelah terdengar dari ruang tamu, suara mas Irsyad yang
mengucapkan salam. Aku bergegas merapikan baju dan kerudungku dan berlalu
menemui –calon suami. Ibu dan ayah sudah dulu berbincang dengan calon
menantunya. Aku mengucapkan salam dan duduk di samping ibu. Lelaki tampan
bermata sayup itu membalas salamku dengan senyum legitnya. Kemudian dia
melanjutkan arah tujuanya datang
kerumahku.
“Ibu,
bapak,
kedatangan saya kemari selain bersilaturrahmi tetapi juga ingin membicarakan
tentang mahar pernikahan. Apakah
ada sesuatu yang diinginkan Syifa?”
“Sebigutukah
penting sebuah mahar Mas, dalam pernikahan?” tanyaku
“Penting, mahar dalam islam
merupakan tanda cinta, juga sebagai simbol penghormatan dan pengagungan yang
disyariatkan oleh Allah sebagai hadiah laki-laki kepada colon istrinya. Seperti
firman Allah:
berilah mereka mahar dengan penuh ketulusan. Tetapi jika mereka rela memberikan
sebagian dari mahar, maka ambillah dengan cara yang halal dan baik”*[1]
jelas Mas Irsyad
“Kalau
begitu terserah dari pihak Mas Irsyad sendiri, syifa nuru…”
“maksudnya
Syifa itu dia nurut apa kata ibunya.” serobot ibu tiba-tiba membuatku
mati kata. Ibu pun melanjutkan “Kalau mahar sebagai tanda penghormatan
Irsyad kepada Syifa, dari pihak wali syifa menginginkan mahar yang
berbeda dengan pernikahan yang lain, bisa?”
“Maaf,
maksud ibu , berbeda seperti apa?”
“Yah berbeda. Ibu ingin
pernikahan anak satu-satunya ibu, bisa istimewa di bandingkan yang lain. Emas,
uang, dan seperangkat alat shalat sudah biasa.
Ibu ingin yang—Wauww. Biar semua orang tahu , -- bahwa Syifa juga bisa
mempunyai calon suami yang bisa di andalkan.”
tegas ibu
Diam
dan diam. Mulutku bisu, gerombolan kata-kata meluap di hati tuk diucapkan,
namun mulut ini hanya bisa mangap-mangap tak bersuara.
Apalagi Ayah, hanya bisa berekspresi tak berdosa, sambil mengangguk-anggukan setiap kalimat
ibu. Tuhan… Maafkan ibuku yang telah menyakiti perasaan Mas Irsyad. Sekarang
apa pun keputusan lelaki di depanku ini aku pasrah.
“Saya sangat memahami permintaan
ibu. Insya Allah empat hari kedepan ini, saya akan berusaha
mencari mahar apa yang sekiranya layak, saya berikan kepada putri ibu, yang
sholehah ini. Dan Insya Allah berbeda dengan pernikahan yang lain. “ Jelas Mas
Irsyad sekaligus berpamitan.
***
Rembulan
masih bergantung di cakrawala. Sesekali sinarnya tertutup awan yang
berarak-arak. Bintang-bintang satu persatu mulai keluar untuk menyusur hidup.
Disini. Dikamar ini aku masih termenung. Aku tak sangka ke-irian ibu terhadap
ibu Mila berimbas pada Mas Irsyad. Jangan pernah padakan calon imamku dengan
calonya Ratna, kerena memang bukan kekayaanya yang kupandang. Bodo amat masalah
mahar atau apalah itu, bagiku cukup dari
sinar ketulusanya mencintaiku dan niat sucinya membangun mahligai rumah tangga
bersamaku. Apakah ada mahar yang berbeda dengan
pernikahan yang lain? mungkin tak ada. Aku pun belum pernah
melihatnya. Secara tidak langsung ibu
meragukan kemampuan Mas Irsyad. Tapi
aku yakin Allah memberikan akal kepada manusia untuk memecahkan setiap mesteri,
dan misteri itu bisa terpecahkan ketika
hati telah terpaut kepada-Nya. “Mas
Irsyad, goyangkan dan pecahkanlah titik
belenggu misteri di hati ibuku hingga
beliau tersenyum dan melihat akan niat sucimu” batinku
***
Hari itu pun tiba, 12-12-2012…
Ya Allah.. Kau jadikan pengikat rindu
Rasulullah kepada Khadijah Al-Qubro
dan Engkau jadikan mutiara air kasih
sayang Ali Bin Abu Thalib Ra untuk Fatimah Az-zahra, Kau hiasi keluarga nabi dengann
surgamu..
Imanku tak sepadan dengan sahabat nabi,
tapi Ridohilah langkah suciku
menuju kesempurnaan ibadahku kepadamu…
Hati ini terus bermuhasabah kepada Dzat yang membolak-balikan perasaan. Suara
petasan yang cukup keras
pun, menandakan mempelai lelaki sudah tiba. Sebentar
lagi aku menjadi seorang istri, yang siap melayani sang imam penuntun surgaku.
Pandangan ini, pipi ini hingga kesucian ini adalah milik suamiku. Dimana
Ridhonya adalah Ridho Ilahi. Langkah ini di sambut meriah dengan matahari,
dedaunan, bunga melati, hingga tanah
yang kulalui, semua bersujud mendoakanku
yang ingin mengetuk pintu langit dengan ikatan suci.
Acara
pun di mulai. Semua keluarga, tetangga, rombongan keluarga mertua sudah datang,
teman-temanku juga mensupport ke arahku.
Masjid Darussalam bergaya tradisonal khas joglo jawa tengah, berdinding
ayat-ayat al-Qur’an menjadi saksi ikatan
suci ini.
“Apakah
benar calon istri saudara bernama Syifa Azzahra Mutiara, binti Saiful Rahman?”
tanya Pak penghulu kepada Mas Irsyad
“Benar
Pak.”
“Alhamdullilah,
berarti tidak ketukar yah. Jangan gugup mas, saya tidak suka lelaki kok?”
ledek Pak penghulu mencairkan suasana
“Mahar
apa yang mas siapkan untuk sang pujaan hati?” semua orang terdiam.
“Saya
akan memberikan mahar kepada calon istri saya dengan lantunan ayat al-Qur’an
surah Al-A’raaf ayat ke 189.” Semua hadirin terheran dengan ucapan Mas Irsyad
termasuk diriku. Baru kali ini aku temui di zaman kontomporer seperti ini, ada
seorang pemuda yang meminang kekasihnya
dengan bacaan ayat-ayat Allah. Bukan hanya sekadar mahar tetapi seseorang yang
menjamin ikatan suci pernikahan dengan ayat-ayat al-Qur’an berarti ada
tanggungjawab amalan mahar yang harus dilaksanakan. Lihatlah. Iibu bukan hanya tersenyum saja, tapi airmatanya pun mengalir.
Acara
inti dimulai. Dari
pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, pembacaan khattbah nikah hingga Mas Irsyad mengucapkan
“Qobiltu
nikahaha wa tazwijaha bil mahrin madzkur”
“Bagaimana
saksi? sah?”
dengan
serentak “ Sah.”
Alhamdulilah…
Acara
berlanjut dengan penandatangan surat nikah. Mencium tangan suamiku.
Mas Irsyad membalas dengan kecupan mesra di keningku. hingga penyerahan mahar.
Suamiku melatihku membaca surah Al-A’araf hingga mushafnya begini bunyinya
“Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung,
kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)
bermohon kepada Allah. Tuhanya
seraya
berkata : Sesungguhnya jika Engkau memberi anak yang saleh, tentulah kami
termasuk orang-orang yang bersyukur”
Sejenak seluruh
isi alam memberikan salam hormat pada sang pengantin yang telah menyatu Karena
ridho Ilahi, lewat guratan-guratan
takdir yang terukir di lembaran-lembaran sayap malaikat, getaran-getaran
halus yang menyengat hati kita berdua, kini telah menjadi halal bernilai kadar
ibadah untuk kita..
nurul_kh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar